BAB
1
Bab
I dalam hikayat ini menceritakan tentang awal tujuan dibuatnya hikayat ini,
yang secara eksplisit termuat dalam cuplikan paragraf di atas. Selanjutnya,
hikayat ini berkisah tentang perjodohan dua anak Raja dari benua yang berbeda. Alkisah, Raja Cina dengan Raja Rom hendak menjodohkan
anak-anak mereka. Rencana itu diketahui oleh Burung Geroda, seekor burung sakti
anak cucu Maharaja Dewata yang tak ingin melihat dua manusia elok itu bersatu,
dan beranggapan bahwa mereka tidak semestinya berjodoh disebabkan oleh jauhnya
jarak kedua kerajaan itu. Berikut petikan naskahnya:
”Ya Nabi Allah, hamba dengar warta raja Rom ada menaruh
seorang anak laki-laki dan raja Benua China ada menaruh seorang anak perempuan.
Maka sekarang raja Rom itu hendak meminang anak raja Benua China. Konon akan
rupakedua anak raja itu terlalu amat eloknya, tiadalah lagi bandingnya akan
rupa keduanya itu, dan kedudukan negeri itu terlalulah jauh, pada fikiran
hamba bukanlah jodo pertemuannya....” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 5).
Burung Geroda itu berupaya menggagalkan rencana tersebut
dengan menculik tuan putri, anak raja Cina, setelah sebelumnya menghadap Nabi
Sulaiman. Tuan putri yang diculik disembunyikan di Pulai Langkapuri. Dalam
hikayat itu dikisahkan:
...Setelah dilihat oleh burung geroda tuan puteri itu
duduk di dalam taman memungut segala bunga-bungaan dan buah-buahan, lalu ia pun
terbanglah pergi menuju kepada tuan puteri itu ke dalam taman. Serta sampai
lalu disambarnya tuan puteri itu dengan mulutnya serta digenggam dengan kukunya
yang kanan. Maka mak inang tuan puteri serta dengan kundangnya seorang budak
perempuan, maka keduanya itu pun disambar dengan kukunya kaki kiri digenggamnya
lalu dibawa terbang mereka itu menuju ke Pulau Langkapuri, halanya itu ke
sebelah laut selatan....(dalam
Salleh, 1998: transliterasi hal. 6).
Demi menuntaskan tujuannya, Burung Geroda juga
memporakporandakan rombongan kapal Raja Merong Mahawangsa, raja paling sakti
dibandingkan raja-raja lainnya, yang hendak mengantarkan anak Raja Rom untuk
dipertemukan kepada tuan putri, anak Raja Cina. sedangkan anak raja Rom
diserang hingga seluruh awak kapalnya jatuh ke laut.
Hatta, tiada berapa lamanya berlayar, adalah kira-kira
sehari semalam lagi hendak ke Pulau Langkapuri itu, maka terlihatlah kepada
burung geroda angkatan pelayaran anak raja itu, lalu dinantikan hari malam.
Setelah itu bahtera Raja Merong Mahawangsa singgah kepada suatu pulau mengambil
air kayu. Maka geroda pun datanglah seperti ribut taufan yang teramat besar,
menyambar dan memukul dengan sayapnya dan menendang kakinya kepada bahtera anak
raja Rom itu hingga habislah karam tenggelam segala kapal dan keci itu, orang
pun banyaklah mati daripada yang hidup, bertaburan sepanjang laut itu....(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 13).
Namun, ternyata anak raja Rom selamat dan terdampar di
Pulau Langkapuri.
...Maka tatkala itu anak raja Rom pun berpegangan pada
suatu papan di dalam laut itu dengan seorang dirinya. Hanya habislah binasa
segala kapal dan keci serta sekalian bahtera anak raja Rom itu, pada sangka
hati burung geroda itu matilah sudah anak raja Rom itu. Maka ia pun kembalilah
ke Pulau Langkapuri (dalam
Salleh, 1998: transliterasi hal. 13-14).
Setelah terdampar, ia diselamatkan oleh tuan putri. Hari
demi hari dirawatnya anak raja Rom itu hingga badannya pulih kembali. Mulailah
cinta kasih mereka bersemai.
Sementara itu, Burung Geroda tengah diminta untuk
membuktikan ucapannya kepada Nabi Sulaiman tentang kabar kematian anak raja
Rom. Maka, dibawanya peti yang dikiranya hanya berisi tuan putri beserta dua
inangnya untuk dihadapkan kepada Nabi Sulaiman. Burung Geroda tidak mengetahui
bahwa anak raja Rom itu juga turut masuk ke dalam peti. Ketika peti terbuka, didapatinya 4 manusia, bukan 3
manusia seperti yang ia sangkakan. Seketika itu, bersabdalah Nabi Sulaiman:
bahwa ada empat perkara yang tidak dapat dielakkan manusia, yaitu, (1) rezeki,
(2), maut, (3) jodoh, (4) perceraian.
Akhir cerita, dua anak raja ini kemudian diantar oleh
Raja Jin bernama Harman Syah, salah satu pengikut Nabi Sulaiman, kepada raja
Benua Cina. Mereka kemudian dinikahkan oleh raja Benua Cina.
Bab II dalam hikayat ini mengisahkan tentang pendirian
Negeri Kedah oleh Raja Merong Mahawangsa, disusul dengan pembukaan tiga negeri
di sekitar Kedah oleh anak keturunannya, yaitu Negeri Benua Siam, Negeri Perak,
serta Negeri Patani. Raja Merong Mahawangsa dikisahkan memiliki seorang anak bernama
Raja Merong Mahadipusat yang memiliki empat orang anak. Anak laki-laki pertama
mendirikan Negeri Benua Siam, anak laki-laki kedua mendirikan Negeri Perak, dan
anak ketiga, seorang perempuan, mendirikan Negeri Patani. Anak keempat
(laki-laki) konon menggantikan Raja Merong Mahadipusat menjadi raja Kedah dan
bergelar Raja Seri Mahawangsa. Terdapat pula cerita tentang Raja Bersiung alias
Raja Ong Maha Perita Deria, anak keturunan Merong Mahawangsa atau Raja Kedah
kelima yang gemar memakan darah hati manusia.
Ihwal pendirian Negeri Kedah termuat dalam teks:
Maka titah Raja Merong Mahawangsa kepada menteri Rom,
”Sudahlah beta rajakan anakanda ini. Maka sekarang akan negeri ini patutlah
kita namakan sesuatu akan dia.” Maka sembah segala menteri, ”Patut sangat
tuanku menamakan negeri ini, supaya tiada sesat daripada sebutannya.” Maka
sembah pula menteri Rom, ”Bukanlah dengan kemudahan juga mendapat negeri ini,
dengan tiada sukarnya; jikalau kepada namanya pun demikian jua.” Maka titah
Raja Merong Mahawangsa, ”Jika demikian hendaklah kita namakan negeri ini negeri
Kedah Zamin Turan sebutannya.”(dalam
Salleh, 1998: transliterasi hal. 34).
Mengenai pembukaan negeri-negeri di tanah seberang, Raja
Merong Mahawangsa pernah berkata kepada anaknya, Raja Merong Mahapudisat, agar
anak keturunannya kelak mengembangkan kekuasaan negeri itu dengan mendirikan
kerajaan di wilayah-wilayah yang baru. Raja Merong Mahawangsa berkata:
...”Hai anakku Raja Merong Mahapudisat, jikalau anakku
beroleh anak pada zaman ini, hendaklah anakku rajakan akan dia seorang sebelah
utara barat laut, seorang sebelah selatan timur menenggara daripada negeri
Kedah ini, dan seorang sebelah matahari naik antara timur laut. Maka di dalam
negeri Kedah ini pun jangan sekali-kali anakku suruh tinggalkan, kerana zaman
ini banyak sangat bumi yang hampa yang tiada orang diam-diami, baharu sangatlah
menjadi tanah daratan, supaya termasyhur nama kita pada segala negeri. Jangan
jadi sia-sia pekerjaan ayahanda yang sudah tua ini, terlangsung mari membuat
negeri di tanah bumi ini.” (dalam
Salleh. 1998: transliterasi hal 34-35).
Kisah itu kemudian berlanjut dengan merantaunya anak-anak
Raja Merong Mahapudisat ke daerah-daerah baru dan mendirikan kerajaan baru di
atasnya. Negeri Siam didirikan oleh anak Raja Merong Mahapudisat yang tertua.
Berikut petikan kisahnya:
...Maka di situlah sekalian berbuat istana dengan kota
parit serta dihimpunkan segala orang yang duduk bertaburan pecah-belah itu,
maka disatukan sekaliannya. Maka menjadi besarlah. Maka dinamai negeri itu Siam
Lancang tempat membuat kota istana itu. Maka datanglah orang berkhabarkan
kepada Raja Merong Mahapudisat mengatakan sudahlah tetap anakanda baginda yang
tua itu di atas takhta kerajaan negeri Benua Siam; mana yang tiada mahu menurut
takluk Benua Siam itu dirosaklanggarkan kepada penghulu gergasi Phra Cesim,
menjadi menurut katalah segala raja-raja negeri kecil-kecil, datanglah mengadap
serta membawa ufti dan hadiah negerinya pada raja Benua Siam (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 38).
Demikian pula yang dilakukan anak kedua dari Raja Merong
Mahadipusat, ia disuruh merantau ke arah selatan oleh Raja Merong Mahadipusat
sesuai titah ayahnya, Raja Merong Mahawangsa, agar mencari tempat yang dapat
dibangun kerajaan di atasnya. Tatkala sampai di dekat sungai besar yang airnya
terus mengalir menuju ke laut dengan pemandangan pulau yang indah, anak kedua
ini pun berhenti dan mengambil busur panahnya sembari berkata:
...”Hai Indera Sakti, jatuhlah engkau kepada bumi pulau
tiga empat biji itu. Di mana engkau jatuh sekarang, disitulah aku perbuat
negeri dan kota parit tempat aku diam.” Maka ditariknya busurnya itu serta
memanahkan ke udara berdengung-dengung bunyinya seperti kumbang menyering bunga
lakunya, hilang ghaib. Seketika datanglah jatuh pada suatu tempat pulau; dengan
sebab itulah dinamakan Pulau Indera Sakti. Kepada tempat itulah diperbuat kota
parit, dijadikan negeri dan disuruh akan membuat istana serta menghimpunkan
segala orang yang duduk bertaburan pecah belah tiada berketahuan. Maka berhimpunlah
segala orang itu, terlalu ramainya orang berbuat kota istana, jadilah sebuah
negeri. Maka dinamai dengan nama negeri Perak, jasa anak panah itu matanya
perak (dalam Salleh,
1998: transliterasi hal. 39).
Akan halnya dengan Kerajaan Patani, kerajaan ini
didirikan oleh anak perempuan Raja Merong Mahadipusat. Oleh Raja Merong
Mahadipusat, anak perempuannya itu diberikan seekor gajah sakti bernama Gemala
Johari dan sebilah keris sakti bernama Lela Mesani. Konon kisahnya, keris itu
sangat ditakuti oleh musuhnya. Mata keris itu menyala-nyala, dan siapa pun tak
akan berani menatapnya.
Rombongan raja perempuan itu berhenti di suatu tempat
yang tanahnya rata, dekat dengan laut dan sungai besar yang bermuara ke laut.
Di sinilah tempat didirikannya Kerajaan Patani oleh anak perempuan Raja Merong
Mahadipusat.
Hatta, beberapa lamanya berjalan itu hampirlah hendak
bertemu dengan laut sebelah sana, maka bertemu pula dengan suatu sungai besar
terus ke laut jua. Maka berhentilah gajah Gemala Johari kepada tempat itu,
tanahnya rata. Maka segala menteri hulubalang, rakyat sekalian pun berhentilah masing-masing
membuat istana dan kota parit serta menghimpunkan sekalian orang yang ada pada
segala jajahan yang dekat dan yang jauh, sekalian pun habis datang mengadap
serta membawa persembahan akan raja perempuan itu. Setelah sudah diperbuat
balai istana serta dengan kota paritnya, maka raja perempuan pun naiklah ke
istana dan terbit ke balairung meletakkan keris itu ke hadapannya. Maka raja
itu bersemayamlah. Setelah itu jadi berhimpunlah segala orang yang jauh
mengadap, masing-masing dengan membawa persembahan dan hadiah. Adapun segala
yang datang mengadap itu tiadalah sekali-kali memanggungkan kepalanya seperti
ada orang yang menekankan kepada perasaannya, serta dengan takut ngerinya
daripada kesaktian keris Lela Mesani itu serta dengan takut akan gajah Gemala
Johari itu, ia tiada jauh daripada penghadapan itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 40-41).
Setelah itu maka bertambah-tambah ramai orang datang
mengadap itu. Maka sembah menteri keempat, ”Patik ini mohonlah hendak kembali,”
serta bertanya nama negeri itu. Maka titah raja perempuan, ”Baiklah, mamakku,
patut sangat mamakku kembali mengadap paduka ayahanda baginda itu ke Kedah,
sembahkan negeri ini Patani namanya, dengan sebab tuah keris Lela Mesani itu,
jadi dinamakan negeri ini Patani.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 41).
Setelah raja Kedah kedua, Raja Merong Mahapudisat
mangkat, beliau digantikan oleh anak keempatnya, Raja Seri Mahawangsa. Raja
Seri Mahawangsa kemudian digantikan oleh anak laki-lakinya yang bernama Raja
Seri Maha Inderawangsa yang beranakkan Raja Ong Maha Perita Deria. Raja Ong Maha Perita Deria inilah yang terkenal dengan
sebutan Raja Bersiung. Konon
kisahnya, pelabelan tersebut disebabkan kelakuannya yang tidak adil terhadap
rakyatnya, suka menganiaya, serta membunuh satu orang setiap harinya untuk
disantap darahnya. Raja Bersiung adalah sosok raja yang keras kepala. Ia tidak
mau mentaati nasehat yang diberikan oleh menteri-menterinya. Perilakunya sangat
jauh berbeda dari perangai raja-raja sebelumnya.
Hatta, antara itu tiada boleh silap sedikit jua pun
sekalian rakyat, habislah kena tangkap rantai dipenjarakannya. Terlalulah
kemasghulan di hati menteri keempat akan perangai baginda itu, terlalulah kahar
akalnya, tiada menurut perangai raja yang dahulu-dahulu itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 50).
Namun, merunut pada asal-usul Raja Bersiung, pada
dasarnya ia merupakan hasil perkawinan yang tidak disetujui karena perbedaan
kelas dan status sosial. Aturan
kerajaan menetapkan bahwa raja harus menikah dengan perempuan yang memiliki
kelas yang sama. Ketika itu, ayahanda Raja Bersiung, Raja Seri Inderawangsa
menentang aturan tersebut. Disinilah berlaku hukum karma bila raja menentang
aturan itu, sehingga lahirlah anaknya yang memiliki perangai buruk dan memiliki
siung. Gambaran Raja Bersiung itu dikisahkan dalam teksnya:
Hatta, pada suatu hari, raja tengah dihadap oleh orang
sekalian, maka titahnya kepada seorang menteri, ”Hendaklah tuan hamba mari
dekat beta, lihat gigi hamba ini, terlalu sakit antara gigi manis, keduanya itu
baharu tumbuh pula, bakatnya sahaja baru jadi.” Maka dilihatnya oleh menteri,
disembahnya, ”Siung, tuanku.” Maka titahnya pula, ”Pada fikiran rasa beta,
tiada patut hendak tumbuh siung.” Ia berkata-kata itu sambil tertawa-tawa pula,
”Jika hendak tumbuh siung pun tentulah ada daripada mula jadi atau daripada
masa sedang kecil dahulu.” (dalam
Salleh, 1998: transliterasi hal. 50).
Akan halnya dengan perilakunya yang suka menyantap darah
manusia, berawal dari kegemarannya memakan tumis gulai lecek dari
bayam. Kala itu, jari sang juru masak teriris oleh pisau pada saat membumbui
sayur itu, dan darahnya sempat menetes ke dalam racikan tumisan yang dibuatnya.
Namun, bukannya beraroma anyir darah, tumis gulai itu justru menjadi lebih
lezat menurut selera Raja Bersiung. Maka, sejak itulah ia selalu meminta tumisgulai
lecek berbumbu darah dengan mengorbankan satu orang manusia setiap
harinya. Berikut deskripsi kisahnya:
...Maka tatkala itu gerau yang di dapur itu pun tengah
memotong sayur bayam dengan gopohnya hendak diperbuat gulai lecek. Maka
terlekalah matanya sedikit. Maka lalu tersayatlah hujung jarinya dengan pisau.
Maka segeralah diambilnya kain, dibalut serta diikatnya, maka pada sangkanya
tiadalah keluar darah itu. Setelah dibubuhnya rempah-rempah ke dalam sayur itu
lalu dijerangkan ke atas api. Maka pada waktu ia tengah melecek sayur itu, maka
tertitiklah darahnya setitik ke dalam sayur itu dengan dilihatnya. Maka ia
hendak perbuat lain sayur pun tiada sempat kerana raja sudah datang dari mandi
hendak santap. Maka dibubuhnyalah ke dalam hidangan dengan gopohnya, lalu
diangkatnyalah hidangan itu dihantarkan ke hadapan raja (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 51).
Maka Raja Bersiung pun santaplah nasi itu, menuangkan
gulai lecek dengan isi kuahnya sekali. Setelah sudah santap, maka Raja Bersiung
pun terlalulah amat lazat citarasanya, terlebih daripada sediakala hingga
habislah gulai di dalam belanga itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 51).
Usai bersantap, Raja Bersiung memanggil sang juru masak
sembari mengacungkan pedang dan bertanya hal apakah yang menjadikan gulai lecek
tersebut lebih lezat dari biasanya. Karena ketakutan, sang juru masak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
Sejak saat itulah, Raja Bersiung ini selalu meminta darah manusia untuk
dicampurkan ke dalam masakannya.
Demi Raja Bersiung mendengar sembah perempuan itu, maka
iapun menyarungkan pedangnya serta bertitah, ”Baiklah,” lalu berangkat keluar
ke balairung bertitah, ”Mana penghulu biduanda sekalian? Bukanlah ada orang
yang kita suruh bunuh sulakan itu pada hari ini? Ambil cawan itu, isikan
darahnya, bawa ke mari kepada aku.”(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 52).
Maka penghulu biduanda pun menyembah, lalu mengambil
cawan pergi mendapatkan orang yang hendak dibunuh itu. Maka orang itu pun
dikerjakan oranglah, darah itu diisinya ke dalam cawan lalu dibawa mengadap
persembahkan kepada baginda Raja Bersiung itu. Maka diambilnya lalu dibawa
langsung ke dapur menyuruh gerau itu membuat sayur lecek. Setelah pertengahan
masak maka dihampiri oleh Raja Bersiung, sendirinya menuangkan darah itu ke
dalam belanga sayur itu. Setelah masak, maka dihidanglah oleh gerau itu,
dihantarkan ke hadapan Raja Bersiung. Maka Raja Bersiung pun santaplah. Maka
terasa olehnya terlebih pula sedap daripada yang dahulu itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 52).
Maka keesokan harinya disuruh pula bunuh seorang, ambil
darahnya serta dengan hatinya diperbuat gulai dan panggang dan darah itu
diperbuat kuahnya. Maka apabila dimakannya, terlebih pula lazat citarasanya.
Maka tiadalah dapat lagi ditinggalkan oleh Raja Bersiung itu daripada memakan
hati darah orang jua. Jikalau tiada ada yang demikian tiadalah dapat ia santap
nasi pada hari itu jikalau berapa banyak lauk sekalipun. Maka jadilah seorang
raja terbunuh olehnya, sampai kepada habis orang yang tiada berdosa pun dan di
luar kota pun sunyilah kerana sudah habis orangnya, tiadalah apa kiranya hanya
hendak memakan hati darah manusia sahaja sehingga orang yang di dalam penjara
itu pun habislah dibunuhnya. Maka masyhurlah kepada khalayak yang banyak hingga
kepada negeri yang lain-lain. Maka terlalulah amat kemasyghulan segala rakyat
bala tentera, datang dengan teriak tangis kepada segala menteri hulubalang
mengatakan anaknya terbunuh, ada yang setengah mengatakan bapanya terbunuh.
Demikian itulah habis mati sekalian orang dibunuhnya dimakan darahnya(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 52-53).
Akibat perangai buruknya dan nasehat keempat menteri
tidak diindahkannya, maka terjadilah pergolakan di dalam negeri. Kondisi
tersebut terjadi akibat sabotase dari keempat menteri yang sengaja melawan raja
dengan mengerahkan seluruh rakyat untuk menentang Raja Bersiung. Hal itu
menjadikan Raja Bersiung melarikan diri ke dalam hutan. Pelarian tersebut
berakhir tatkala ia tiba di sebuah keluarga yang tidak mengetahui identitasnya
dan menerimanya sebagai menantunya, karena ia memperistri salah seorang
anaknya. Hasil perkawinan itu membuahkan seorang anak laki-laki.
Anak laki-laki inilah yang kelak menggantikannya menjadi
raja karena dengan istri sebelumnya, Raja Bersiung tidak memiliki seorang anak
pun. Anak ini diberi nama Raja Phra Ong Mahaputisat. Nama ini diberi oleh Raja
Benua Siam, negeri yang masih memiliki ikatan saudara.
BAB 3
Semasa Raja Phra Ong Mahaputisat memerintah, Negeri Kedah
digambarkan menjadi makmur dan aman sentosa. Sifatnya yang adil dan pemurah
sangat jauh berbeda dengan sifat ayahnya, Raja Bersiung.
Maka terlalulah ramainya sekalian pada masa Raja Phra Ong
Mahaputisat memegang kerajaan di dalam negeri Kedah itu kerana sangat adilnya
dan insaf Raja Phra Ong Mahaputisat di atas segala rakyat bala serta pula
dengan baik budinya bahasanya. Maka tiadalah teraniaya lagi segala isi negeri
itu dan segala makanan daripada aneka jenis pun terlalu makmurnya (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 82).
Raja Phra Ong Mahaputisat memiliki seorang anak bernama
Raja Phra Ong Mahawangsa. Dikisahkan pula di bab ini tentang dua anak
angkatnya, Raja Buluh Betung yang muncul tiba-tiba dari pohon buluh betung,
serta Putri Seluang yang ditemukan oleh istri Raja Bersiung saat datang banjir
air bah. Keduanya kemudian dijadikan anak dan menjadi saudara bagi Raja Phra
Ong Mahawangsa. Kisah itu dipaparkan dalam teksnya:
Adapun ayahnya Raja Phra Ong Mahaputisat akan buluh
betung itu ditaruhnya susur dengan tempat peraduannya, tiadalah berjauh dengan
dia kerana sangat kasih akannya, serta pula buluh itu pun makin sehari makin
besar. Setelah demikian maka genaplah bilangannya serta dengan waktu yang
sejahtera, maka buluh betung itupun pecahlah lalu keluar seorang kanak-kanak
laki-laki, terlalu sekali baik rupa parasnya. Maka sekaliannya terkejutlah
dengan hairan melihat budak itu. Maka Raja Phra Ong Mahaputisat pun segera
mengambil menjadikan anaknya serta dengan inang pengasuhnya. Maka dinamakan
budak itu Raja Buluh Betung (dalam
Salleh, 1998: transliterasi hal. 80).
Munculnya Putri Seluang diceritakan dalam naskahnya:
Bermula, adalah suatu hari datang air bah sangatlah
besarnya.Maka Raja perempuan
isteri Raja Bersiung pun pergi ke sungai. Maka dilihatnya ada sebuah bukit yang
kecil seperti sebuah rumah rupanya, hanyut hilir daripada hulu Sungai Kuala
Muda itu, yang teramat putih rupanya menuju kepada raja perempuan. Demi
dilihatnya buih juga rupanya yang datang itu, maka diarung oleh raja perempuan
buih itu. Hatta, sampai ke tengah-tengah maka bertemulah dengan seorang budak
perempuan yang teramat baik rupanya. Maka segera diambil oleh raja perempuan
budak itu dibawa kembali ke istana. Setelah itu dinamai oleh raja perempuan
budak itu Puteri Seluang. Maka dipeliharakannya seperti anak yang dijadikannya
serta diberi inang pengasuhnya (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 81).
Raja Phra Ong Mahaputisat mangkat dan digantikan oleh
anak kandungnya, Raja Phra Ong Mahawangsa. Konon, Raja Phra Ong Mawahangsa memiliki kegemaran meminum arak dan arak nasi. Kegemaran
tersebut menjadikannya kebal terhadap segala penyakit. Namun, hanya pada
waktu-waktu tertentu saja ia meminumnya, sehingga tidak mabuk. Kegemarannya itu
dipaparkan dalam teksnya:
Adapun Raja Phra Ong Mawangsa itu sangatlah gemar ia
meminum arak api dan arak nasi akan menjadi tubuhnya sihat daripada penyakit.
Maka ditaruhnya bertempayan-tempayan banyaknya, tiadalah kurang. Bahawa
sesungguhnya ia meminum arak itu hingga bangun-bangun sahaja daripada tidurnya
sebelum lagi membasuh muka, pada ketika itu dimintanya suatu piala cawan kaca
yang berisi arak. Maka dituangnya ke mulutnya. Setelah sudah ia minum itu
baharulah membasuh mukanya dan makan sirih. Demikianlah pada tiap-tiap hari
selama-lamanya, tetapi pada waktu ia makan minum tiada sekali-kali diperbuatnya
melainkan pada ketika ia sekalian berusuka-sukaan makan minum dengan menteri
hulubalangnya baharulah ia meminum arak api dan arak nasi. Tetapi Raja Phra Ong
Mahawangsa itu tiada mahu mendatangkan khayal dan mabuk, kalau-kalau menjadi
gila atau pening kepalanya hingga sehari sekali jua ia meminum itu, adanya(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 83).
BAB 4
Bab ini mengisahkan tentang awal mula masuknya Islam di
Negeri Kedah, yang dibawa oleh Syeh Abdullah Yamani dari Baghdad. Alkisah, Syek
Abdullah Yamani ini adalah seorang hafidz Qur‘an (penghafal Qur‘an), sehingga
kemana pun ia pergi, mulutnya senantiasa melafalkan ayat-ayat Allah. Suatu
ketika, tertarik dengan iblis saat ia membaca sebuah kitab tafsir Qur‘an. Maka,
ia pun menghadap gurunya dan memohon untuk bertemu dengan iblis dan menjadi
muridnya. Keinginan itu dikabulkan oleh gurunya, setelah sebelumnya
memperingatkan bahwa segala amal ibadahnya akan sia-sia dan ia akan berada di
atas jalan yang sesat. Karena keingintauan yang besar, Syek Abdullah Yamani
tetap bersikeras pada keinginannya. Maka jadilah ia murid iblis itu.
Oleh sang iblis, ia diberi tongkat yang mampu
menghilangkan wujudnya di dunia. Ia kemudian ikut berkeliling dunia dengan
iblis tersebut, melihat bagaimana sang iblis memporakporandakan dunia dan
menjadikan manusia berada di jalan yang sesat. Sepanjang perjalanan mereka, iblis itu tak henti-hentinya
mengobarkan kekacauan. Setiap kali iblis lewat, maka muncullah perkelahian,
pembunuhan, dan kekacauan lain yang sengaja dibuatnya akibat bisikan-bisikan
iblis dan pengikutnya ke dalam hati manusia. Berikut ini beberapa petikan
teknya yang menggambarkan perilaku jahat iblis:
Maka tatkala itu tuan kampung itu tengah hendak berkelahi
berbabil berebut-rebut seorang sekerat kampung dan dusun itu. Maka penghulu
syaitan itu menyuruh anak cucunya berhimpun berkeliling itu daripada kedua
belah pihak kaum itu pun dihunjamnya dengan rahsia yang ghaib oleh penghulu
iblis itu disuruh berkelahi. Telah jadi sekaliannya berbunuh-bunuh dengan sorak
tempik sekaliannya bergemuruh dan berdahanam bunyinya dengan tiada diketahui
oleh segala manusia....(dalam
Salleh, 1998: transliterasi hal. 88-89).
Maka berjalan pula penghulu iblis itu ke tempat yang
lain. Maka tinggallah anak cucunya pada tempat itu. Maka sampailah ia kepada
tempat orang berjual beli daripada serba dagangan dan makanan dan apabila
sampai ia kepada tempat yang cair-cair di situlah yang amat banyak berak
kencingnya serta disuruh anak cucu mereka itu(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 89).
Maka berjalan pula penghulu iblis itu serta dengan tuan
Syekh itu, sampailah pada seorang perempuan yang baik rupa parasnya. (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 89).
...Maka dihampiri dekat perempuan itu lalu diisyaratkan
oleh penghulu iblis dengan diselakkan kain di dadanya lalu ditolakkannya
seorang laki-laki yang muda berkata-kata dan bergurau senda dengan perempuan
itu. Seketika datanglah lakinya perempuan itu. Maka marahlah ia langsung
menjadi berkelahi dengan orang itu. Maka disuruh kepada anak cucunya mengacau
orang itu suruh bertikam. Maka jadi berbunuh-bunuhlah orang itu(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 89).
Demikianlah iblis mengganggu manusia, menyuruh berbuat
dosa. Hingga suatu ketika, sampailah iblis itu di Negeri Kedah, tempat Raja
Phra Ong Mahawangsa bernaung. Tahu akan kegemaran sang raja yang suka minum
arak, maka diisilah cawan raja itu dengan air kencingnya. Seketika itu, Syekh
Abdullah Yamani menegur perilaku iblis itu. Teguran itu mengakhiri
petualangannya berguru dengan iblis, karena sebelumnya iblis telah memintanya
untuk tidak menegur segala perbuatannya terhadap manusia. Maka, putuslah
hubungan keduanya, dan diambilnya tongkat ajaib yang mampu menghilangkan wujud
Syekh itu, sehingga terlihatlah sosok Syekh Abdullah Yamani di kamar raja.
Setelah itu maka penghulu syaitan pun berjalanlah ke
negeri yang lain pula menuju segala kota negeri raja-raja yang di susur tepi
laut itu. Maka sampailah kepada sebuah negeri rajanya kafir, makan arak. Serta
sampai penghulu syaitan dengan Syekh Abdullah, maka naiklah ke istana Raja Phra
Ong Mahawangsa itu, menuju masuk keduanya ke tempat peraduan. Masa itu raja
tengah tidur. Serta datang berdiri keduanya di susur kelambu raja itu. Maka
raja itu pun bangunlah daripada beradunya meminta piala araknya. Maka
budak-budak raja pun mengambil guri araknya, ditahan piala di bawahnya. Baharu
ia hendak tuang sahaja, datanglah penghulu iblis serta diselak kainnya lalu dikencing
ke dalam piala itu, sedikit arak banyak air kencing. Maka budak itu pun
persembahkan kepada raja. Maka raja pun minumlah arak suatu piala itu. Setelah
sudah terminum, maka Syekh Abdullah pun berkatalah kepada penghulu syaitan,
katanya, ”astagfirullahhal adzim, betapa juga tuan hamba beri minum air kencing
tuan hamba kepada raja itu?” (dalam
Salleh, 1998: transliterasi hal. 107).
Maka kata penghulu syaitan, ”Bukankah hamba kata dan
pesan jangan tuan hamba tegur barang perbuatan hamba di atasnya segala manusia?”
Maka kata Syekh Abdullah kepada penghulu syaitan itu, ”Pada tempat yang lain
tiadalah hamba tegur. Ini ia seorang raja besar, memegang suatu negeri. Maka
sampai hemat tuan hamba memberi ia minum air kencing.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 107-108).
Maka Raja Phra Ong Mahawangsa pun amat menjadi hairan
bunyi orang berbabil di tepi kelambunya. Maka tiada kelihatan suara sahaja yang
didengar, menjadi tiadalah terbasuh mukanya duduk melengung mendengar akan hal
perbabilan keduanya. Maka penghulu syaitan pun datanglah marahnya akan Syekh
Abdullah, katanya, ”Jika sudah banyak pandai tuan hamba, bercerailah kita,
”sambil dirabutnya tongkat yang di tangan Syekh Abdullah itu dan ditumbuknya
sekali lalu turunlah dari istana raja itu, hilang ghaib (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 108).
Maka Syekh Abdullah pun kelihatanlah kepada mata orang,
terdiri di hadapan raja. Maka raja pun terkejut langsung bangun berdiri
memegang tangan Syekh Abdullah, katanya, ”Dengan siapa tuan berkata-kata
sekejap ini dan dari mana juga tuan datang ke peraduan hamba ini, lengkap
dengan segala pakaian, alamat orang jauh dan siapa juga membawa tuan kemari
ini, kerana budak-budak perempuan lagi tidur?” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 108).
...Maka kata Syekh Abdullah, ”Yalah, tuanku. Adapun hamba
ini anak negeri Yamani, datang daripada negeri guru hamba, negeri Baghdad,
dibawa oleh iblis kerana hamba hendak berguru dan melihat segala perbuatan
syaitan dan diberi suatu tongkat kepada hamba, menjadi hilanglah daripada mata
orang banyak, dan beberapa perbuatan di atas segala manusia, perbuatannya
semata-mata kejahatan jua, hingga sampai ke istana tuanku ini.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 108).
Keduanya kemudian bercakap-cakap, dan Syekh Abdullah
mulai mengenalkan agama Islam dan mengislamkan Raja Phra Ong Mahawangsa saat
itu juga. Sejak saat itu, Syekh Abdullah Yamani menjadi muballigh di Negeri
Kedah, yang mengislamkan Raja Phra Ong Mahawangsa dan segenap rakyatnya. Raja
kemudian berganti nama menjadi Sultan Muzalfal Syah.
Syekh Abdullah juga mengajak raja dan rakyatnya melakukan
sholat lima waktu, sholat jumat, serta membayar zakat. Raja juga memerintahkan
rakyatnya untuk membangun masjid-masjid dan menyuruh mereka berguru kepada
Syekh Abdullah, hingga hampir semua rakyatnya menganut Islam dan menjalankan
syariat agama Islam sepenuhnya.
Saat itu, Sultan Muzalfah Syah memiliki tida orang
putera, yang diberi nama Islam, yaitu Raja Muazzam Syah, Raja Mahmud Syah,
serta Raja Sulaiman Syah. Ketiganya juga berguru kepada Syekh Abdullah Yamani
dalam memahami Islam. Setelah lama di Negeri Kedah, Syekh Abdullah kembali ke
Baghdad.
BAB 5
Bab ini secara ringkas menceritakan silsilah raja-raja
Kedah setelah Sultan Muzalfal Syah. Kisah ini diawali dengan pulangnya Syekh
Abdullah Yamani ke negeri Baghdad untuk bertemu gurunya dan menceritakan
petualangannya hingga mengislamkan raja beserta rakyatnya di negeri Kedah.
Berikut ini petikan cerita Syekh Abdullah Yamani kepada gurunya:
...Setelah sampai maka naiklah Syekh Abdullah mendapatkan
gurunya. Maka Syekh Abdullah tua pun terkejut, katanya, ”Di mana jua begini
lama tuan mendiamkan diri? Lama benar tiada hamba bertemu dengan tuan hamba.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 122).
Maka kata tuan Syekh Abdullah, ”Bukankah hamba tuan
datang mengadap kadam tuan, pinta tolong tuan pohonkan kepada Allah Taala pinta
pertemukan hamba dengan syaitan iblis kerana hamba tuan hendak ketahui dan
belajar segala perbuatannya? Maka lalu sabda tuan suruh hamba pergi ke tengah padang besar di bawah
sepohon kayu, duduk. Maka hamba tuan pun pergilah duduk di bawah pohon kayu
itu. Maka dengan tolong Allah Subhanahu wa Taala berkat doa tuan dikabulkan
Allah Taala peminta hambanya dan disampaikan jua seperti hajat hamba tuan. Maka
datanglah penghulu syaitan itu memberi salam akan hamba tuan; maka hamba tuan
pun menyahut salamnya. Maka ditanya kepada hamba apakah hajat hamba hendak
berjumpa dengan dia; lalu hamba tuan katakan seperti maksud hamba kepadanya.
Setelah itu maka diajak hamba tuan pergi bersama-sama dengan dia serta
diberinya satu tongkatnya akan hamba, suruh pegang, jangan lepas. Maka hamba
tuan pegang lalu mengikutlah perjalanannya.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 122).
Maka Tuan Syekh Abdullah tua pun baharulah teringat akan
hal itu lalu bertanya kepada muridnya itu peri ia pergi mengikut syaitan iblis
itu. Maka segala perbuatan syaitan iblis itu sekaliannya dikhabarkan kepada
gurunya daripada awal dibawa oleh iblis pergi pada dusun orang itu dan daripada
satu negeri ke satu negeri sampai pergi ke negeri Kedah, lalu dibawa masuk ke
dalam istana Raja Phra Ong Mahawangsa, raja di negeri Kedah itu dan peri
ditinggalkan oleh penghulu syaitan akan dia dan dirampas ambil tongkatnya oleh
penghulu syaitan daripada tangannya dan peri ia membawa Islamkan Raja Phra Ong
Mahawangsa itu serta dengan menteri hulubalang rakyat bala sekalian dengan
istrirahatnya tiada dengan kesukaran sekalian itu masuk agama Islam mengikut
syariat Nabi Muhammad Rasulu‘Llahisalla‘Llahu ‘alayhi wa sallam, sekaliannya
diceterakan oleh Tuan Syekh Abdullah sampai kesudahannya, suatu pun tiada di
lindungkan kepada gurunya (dalam
Salleh, 1998: transliterasi hal. 122-123).
Maka Tuan Syekh Abdullah tua pun terlalu hairan dan ajaib
kebesaran Allah Subhanahu wa Taala mendengar ceritera muridnya itu. Maka Syekh
Abdullah tua mengucap seribu syukur akan Allah Taala, kemudian meminta doa akan
Sultan Muzalfal Syah dan Sultan Muazzam Syah dengan segala isi negeri Kedah
itu, dipinta kepada Allah Subhanahu wa Taala bertambah-tambah iman dan taat.
Setelah sudah maka Tuan Syekh Abdullah Yamani pun bermohonlah kepada gurunya
kembali ke rumahnya. Maka
duduklah ia dengan gurunya sediakala. (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 123).
Kisah dalam hikayat ini diakhiri dengan menguraikan
silsilah raja-raja Kedah keturunan Sultan Muzalfah Syah, secara berturut-turut,
Sultan Muazzam Syah, Sultan Muhammad Syah, Sultan Muzaffar Syah, Sultan Mahmud
Syah, Sultan Sulaiman Syah, Sultan Rijaluddin Mhammad Syah (alias Marhum Naka),
Sultan Muhyidin Mansyur Syah (Marhum Sena), Sultan Ziauddin Mukarram Syah
(Marhum Ilir atau Kebalai), Sultan Ataullah Muhammad Syah (Marhum Bukit
Pinang), Sultan Muhammad Jiwa Zainul Adilin Muazzam Syah (Marhum Kayangan),
Sultan Abdullah al-Mukarram Syah (Marhum Muda Bukit Pinang), Sultan Muhammad
Jiwa Zainul Adilin Muazzam Syah (Marhum Muda Kayangan), serta Sultan Ahmad
Tajuddin Halim Syah.
Sumber:
http://themalaypress.blogspot.com/2009/07/manuskrip-hikayat-merong-mahawangsa.html
No comments:
Post a Comment