SELAMAT DATANG


counter

Wednesday, 23 April 2014

SINOPSIS HIKAYAT MERONG MAHAWANGSA


BAB  1

Bab I dalam hikayat ini menceritakan tentang awal tujuan dibuatnya hikayat ini, yang secara eksplisit termuat dalam cuplikan paragraf di atas. Selanjutnya, hikayat ini berkisah tentang perjodohan dua anak Raja dari benua yang berbeda. Alkisah, Raja Cina dengan Raja Rom hendak menjodohkan anak-anak mereka. Rencana itu diketahui oleh Burung Geroda, seekor burung sakti anak cucu Maharaja Dewata yang tak ingin melihat dua manusia elok itu bersatu, dan beranggapan bahwa mereka tidak semestinya berjodoh disebabkan oleh jauhnya jarak kedua kerajaan itu. Berikut petikan naskahnya:
”Ya Nabi Allah, hamba dengar warta raja Rom ada menaruh seorang anak laki-laki dan raja Benua China ada menaruh seorang anak perempuan. Maka sekarang raja Rom itu hendak meminang anak raja Benua China. Konon akan rupakedua anak raja itu terlalu amat eloknya, tiadalah lagi bandingnya akan rupa keduanya itu, dan kedudukan negeri itu terlalulah jauh, pada fikiran hamba bukanlah jodo pertemuannya....” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 5).

Burung Geroda itu berupaya menggagalkan rencana tersebut dengan menculik tuan putri, anak raja Cina, setelah sebelumnya menghadap Nabi Sulaiman. Tuan putri yang diculik disembunyikan di Pulai Langkapuri. Dalam hikayat itu dikisahkan:
...Setelah dilihat oleh burung geroda tuan puteri itu duduk di dalam taman memungut segala bunga-bungaan dan buah-buahan, lalu ia pun terbanglah pergi menuju kepada tuan puteri itu ke dalam taman. Serta sampai lalu disambarnya tuan puteri itu dengan mulutnya serta digenggam dengan kukunya yang kanan. Maka mak inang tuan puteri serta dengan kundangnya seorang budak perempuan, maka keduanya itu pun disambar dengan kukunya kaki kiri digenggamnya lalu dibawa terbang mereka itu menuju ke Pulau Langkapuri, halanya itu ke sebelah laut selatan....(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 6).

Demi menuntaskan tujuannya, Burung Geroda juga memporakporandakan rombongan kapal Raja Merong Mahawangsa, raja paling sakti dibandingkan raja-raja lainnya, yang hendak mengantarkan anak Raja Rom untuk dipertemukan kepada tuan putri, anak Raja Cina. sedangkan anak raja Rom diserang hingga seluruh awak kapalnya jatuh ke laut.
Hatta, tiada berapa lamanya berlayar, adalah kira-kira sehari semalam lagi hendak ke Pulau Langkapuri itu, maka terlihatlah kepada burung geroda angkatan pelayaran anak raja itu, lalu dinantikan hari malam. Setelah itu bahtera Raja Merong Mahawangsa singgah kepada suatu pulau mengambil air kayu. Maka geroda pun datanglah seperti ribut taufan yang teramat besar, menyambar dan memukul dengan sayapnya dan menendang kakinya kepada bahtera anak raja Rom itu hingga habislah karam tenggelam segala kapal dan keci itu, orang pun banyaklah mati daripada yang hidup, bertaburan sepanjang laut itu....(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 13).

Namun, ternyata anak raja Rom selamat dan terdampar di Pulau Langkapuri.
...Maka tatkala itu anak raja Rom pun berpegangan pada suatu papan di dalam laut itu dengan seorang dirinya. Hanya habislah binasa segala kapal dan keci serta sekalian bahtera anak raja Rom itu, pada sangka hati burung geroda itu matilah sudah anak raja Rom itu. Maka ia pun kembalilah ke Pulau Langkapuri (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 13-14).
Setelah terdampar, ia diselamatkan oleh tuan putri. Hari demi hari dirawatnya anak raja Rom itu hingga badannya pulih kembali. Mulailah cinta kasih mereka bersemai.

Sementara itu, Burung Geroda tengah diminta untuk membuktikan ucapannya kepada Nabi Sulaiman tentang kabar kematian anak raja Rom. Maka, dibawanya peti yang dikiranya hanya berisi tuan putri beserta dua inangnya untuk dihadapkan kepada Nabi Sulaiman. Burung Geroda tidak mengetahui bahwa anak raja Rom itu juga turut masuk ke dalam peti. Ketika peti terbuka, didapatinya 4 manusia, bukan 3 manusia seperti yang ia sangkakan. Seketika itu, bersabdalah Nabi Sulaiman: bahwa ada empat perkara yang tidak dapat dielakkan manusia, yaitu, (1) rezeki, (2), maut, (3) jodoh, (4) perceraian.


Akhir cerita, dua anak raja ini kemudian diantar oleh Raja Jin bernama Harman Syah, salah satu pengikut Nabi Sulaiman, kepada raja Benua Cina. Mereka kemudian dinikahkan oleh raja Benua Cina.








BAB 2 

Bab II dalam hikayat ini mengisahkan tentang pendirian Negeri Kedah oleh Raja Merong Mahawangsa, disusul dengan pembukaan tiga negeri di sekitar Kedah oleh anak keturunannya, yaitu Negeri Benua Siam, Negeri Perak, serta Negeri Patani. Raja Merong Mahawangsa dikisahkan memiliki seorang anak bernama Raja Merong Mahadipusat yang memiliki empat orang anak. Anak laki-laki pertama mendirikan Negeri Benua Siam, anak laki-laki kedua mendirikan Negeri Perak, dan anak ketiga, seorang perempuan, mendirikan Negeri Patani. Anak keempat (laki-laki) konon menggantikan Raja Merong Mahadipusat menjadi raja Kedah dan bergelar Raja Seri Mahawangsa. Terdapat pula cerita tentang Raja Bersiung alias Raja Ong Maha Perita Deria, anak keturunan Merong Mahawangsa atau Raja Kedah kelima yang gemar memakan darah hati manusia.
Ihwal pendirian Negeri Kedah termuat dalam teks:

Maka titah Raja Merong Mahawangsa kepada menteri Rom, ”Sudahlah beta rajakan anakanda ini. Maka sekarang akan negeri ini patutlah kita namakan sesuatu akan dia.” Maka sembah segala menteri, ”Patut sangat tuanku menamakan negeri ini, supaya tiada sesat daripada sebutannya.” Maka sembah pula menteri Rom, ”Bukanlah dengan kemudahan juga mendapat negeri ini, dengan tiada sukarnya; jikalau kepada namanya pun demikian jua.” Maka titah Raja Merong Mahawangsa, ”Jika demikian hendaklah kita namakan negeri ini negeri Kedah Zamin Turan sebutannya.”(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 34).

Mengenai pembukaan negeri-negeri di tanah seberang, Raja Merong Mahawangsa pernah berkata kepada anaknya, Raja Merong Mahapudisat, agar anak keturunannya kelak mengembangkan kekuasaan negeri itu dengan mendirikan kerajaan di wilayah-wilayah yang baru. Raja Merong Mahawangsa berkata:

...”Hai anakku Raja Merong Mahapudisat, jikalau anakku beroleh anak pada zaman ini, hendaklah anakku rajakan akan dia seorang sebelah utara barat laut, seorang sebelah selatan timur menenggara daripada negeri Kedah ini, dan seorang sebelah matahari naik antara timur laut. Maka di dalam negeri Kedah ini pun jangan sekali-kali anakku suruh tinggalkan, kerana zaman ini banyak sangat bumi yang hampa yang tiada orang diam-diami, baharu sangatlah menjadi tanah daratan, supaya termasyhur nama kita pada segala negeri. Jangan jadi sia-sia pekerjaan ayahanda yang sudah tua ini, terlangsung mari membuat negeri di tanah bumi ini.” (dalam Salleh. 1998: transliterasi hal 34-35).
                                                              
Kisah itu kemudian berlanjut dengan merantaunya anak-anak Raja Merong Mahapudisat ke daerah-daerah baru dan mendirikan kerajaan baru di atasnya. Negeri Siam didirikan oleh anak Raja Merong Mahapudisat yang tertua. Berikut petikan kisahnya:

...Maka di situlah sekalian berbuat istana dengan kota parit serta dihimpunkan segala orang yang duduk bertaburan pecah-belah itu, maka disatukan sekaliannya. Maka menjadi besarlah. Maka dinamai negeri itu Siam Lancang tempat membuat kota istana itu. Maka datanglah orang berkhabarkan kepada Raja Merong Mahapudisat mengatakan sudahlah tetap anakanda baginda yang tua itu di atas takhta kerajaan negeri Benua Siam; mana yang tiada mahu menurut takluk Benua Siam itu dirosaklanggarkan kepada penghulu gergasi Phra Cesim, menjadi menurut katalah segala raja-raja negeri kecil-kecil, datanglah mengadap serta membawa ufti dan hadiah negerinya pada raja Benua Siam (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 38).

Demikian pula yang dilakukan anak kedua dari Raja Merong Mahadipusat, ia disuruh merantau ke arah selatan oleh Raja Merong Mahadipusat sesuai titah ayahnya, Raja Merong Mahawangsa, agar mencari tempat yang dapat dibangun kerajaan di atasnya. Tatkala sampai di dekat sungai besar yang airnya terus mengalir menuju ke laut dengan pemandangan pulau yang indah, anak kedua ini pun berhenti dan mengambil busur panahnya sembari berkata:

...”Hai Indera Sakti, jatuhlah engkau kepada bumi pulau tiga empat biji itu. Di mana engkau jatuh sekarang, disitulah aku perbuat negeri dan kota parit tempat aku diam.” Maka ditariknya busurnya itu serta memanahkan ke udara berdengung-dengung bunyinya seperti kumbang menyering bunga lakunya, hilang ghaib. Seketika datanglah jatuh pada suatu tempat pulau; dengan sebab itulah dinamakan Pulau Indera Sakti. Kepada tempat itulah diperbuat kota parit, dijadikan negeri dan disuruh akan membuat istana serta menghimpunkan segala orang yang duduk bertaburan pecah belah tiada berketahuan. Maka berhimpunlah segala orang itu, terlalu ramainya orang berbuat kota istana, jadilah sebuah negeri. Maka dinamai dengan nama negeri Perak, jasa anak panah itu matanya perak (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 39).

Akan halnya dengan Kerajaan Patani, kerajaan ini didirikan oleh anak perempuan Raja Merong Mahadipusat. Oleh Raja Merong Mahadipusat, anak perempuannya itu diberikan seekor gajah sakti bernama Gemala Johari dan sebilah keris sakti bernama Lela Mesani. Konon kisahnya, keris itu sangat ditakuti oleh musuhnya. Mata keris itu menyala-nyala, dan siapa pun tak akan berani menatapnya.

Rombongan raja perempuan itu berhenti di suatu tempat yang tanahnya rata, dekat dengan laut dan sungai besar yang bermuara ke laut. Di sinilah tempat didirikannya Kerajaan Patani oleh anak perempuan Raja Merong Mahadipusat.

Hatta, beberapa lamanya berjalan itu hampirlah hendak bertemu dengan laut sebelah sana, maka bertemu pula dengan suatu sungai besar terus ke laut jua. Maka berhentilah gajah Gemala Johari kepada tempat itu, tanahnya rata. Maka segala menteri hulubalang, rakyat sekalian pun berhentilah masing-masing membuat istana dan kota parit serta menghimpunkan sekalian orang yang ada pada segala jajahan yang dekat dan yang jauh, sekalian pun habis datang mengadap serta membawa persembahan akan raja perempuan itu. Setelah sudah diperbuat balai istana serta dengan kota paritnya, maka raja perempuan pun naiklah ke istana dan terbit ke balairung meletakkan keris itu ke hadapannya. Maka raja itu bersemayamlah. Setelah itu jadi berhimpunlah segala orang yang jauh mengadap, masing-masing dengan membawa persembahan dan hadiah. Adapun segala yang datang mengadap itu tiadalah sekali-kali memanggungkan kepalanya seperti ada orang yang menekankan kepada perasaannya, serta dengan takut ngerinya daripada kesaktian keris Lela Mesani itu serta dengan takut akan gajah Gemala Johari itu, ia tiada jauh daripada penghadapan itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 40-41).

Setelah itu maka bertambah-tambah ramai orang datang mengadap itu. Maka sembah menteri keempat, ”Patik ini mohonlah hendak kembali,” serta bertanya nama negeri itu. Maka titah raja perempuan, ”Baiklah, mamakku, patut sangat mamakku kembali mengadap paduka ayahanda baginda itu ke Kedah, sembahkan negeri ini Patani namanya, dengan sebab tuah keris Lela Mesani itu, jadi dinamakan negeri ini Patani.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 41).

Setelah raja Kedah kedua, Raja Merong Mahapudisat mangkat, beliau digantikan oleh anak keempatnya, Raja Seri Mahawangsa. Raja Seri Mahawangsa kemudian digantikan oleh anak laki-lakinya yang bernama Raja Seri Maha Inderawangsa yang beranakkan Raja Ong Maha Perita Deria. Raja Ong Maha Perita Deria inilah yang terkenal dengan sebutan Raja Bersiung. Konon kisahnya, pelabelan tersebut disebabkan kelakuannya yang tidak adil terhadap rakyatnya, suka menganiaya, serta membunuh satu orang setiap harinya untuk disantap darahnya. Raja Bersiung adalah sosok raja yang keras kepala. Ia tidak mau mentaati nasehat yang diberikan oleh menteri-menterinya. Perilakunya sangat jauh berbeda dari perangai raja-raja sebelumnya.
Hatta, antara itu tiada boleh silap sedikit jua pun sekalian rakyat, habislah kena tangkap rantai dipenjarakannya. Terlalulah kemasghulan di hati menteri keempat akan perangai baginda itu, terlalulah kahar akalnya, tiada menurut perangai raja yang dahulu-dahulu itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 50).

Namun, merunut pada asal-usul Raja Bersiung, pada dasarnya ia merupakan hasil perkawinan yang tidak disetujui karena perbedaan kelas dan status sosial. Aturan kerajaan menetapkan bahwa raja harus menikah dengan perempuan yang memiliki kelas yang sama. Ketika itu, ayahanda Raja Bersiung, Raja Seri Inderawangsa menentang aturan tersebut. Disinilah berlaku hukum karma bila raja menentang aturan itu, sehingga lahirlah anaknya yang memiliki perangai buruk dan memiliki siung. Gambaran Raja Bersiung itu dikisahkan dalam teksnya:

Hatta, pada suatu hari, raja tengah dihadap oleh orang sekalian, maka titahnya kepada seorang menteri, ”Hendaklah tuan hamba mari dekat beta, lihat gigi hamba ini, terlalu sakit antara gigi manis, keduanya itu baharu tumbuh pula, bakatnya sahaja baru jadi.” Maka dilihatnya oleh menteri, disembahnya, ”Siung, tuanku.” Maka titahnya pula, ”Pada fikiran rasa beta, tiada patut hendak tumbuh siung.” Ia berkata-kata itu sambil tertawa-tawa pula, ”Jika hendak tumbuh siung pun tentulah ada daripada mula jadi atau daripada masa sedang kecil dahulu.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 50).

Akan halnya dengan perilakunya yang suka menyantap darah manusia, berawal dari kegemarannya memakan tumis gulai lecek dari bayam. Kala itu, jari sang juru masak teriris oleh pisau pada saat membumbui sayur itu, dan darahnya sempat menetes ke dalam racikan tumisan yang dibuatnya. Namun, bukannya beraroma anyir darah, tumis gulai itu justru menjadi lebih lezat menurut selera Raja Bersiung. Maka, sejak itulah ia selalu meminta tumisgulai lecek berbumbu darah dengan mengorbankan satu orang manusia setiap harinya. Berikut deskripsi kisahnya:

...Maka tatkala itu gerau yang di dapur itu pun tengah memotong sayur bayam dengan gopohnya hendak diperbuat gulai lecek. Maka terlekalah matanya sedikit. Maka lalu tersayatlah hujung jarinya dengan pisau. Maka segeralah diambilnya kain, dibalut serta diikatnya, maka pada sangkanya tiadalah keluar darah itu. Setelah dibubuhnya rempah-rempah ke dalam sayur itu lalu dijerangkan ke atas api. Maka pada waktu ia tengah melecek sayur itu, maka tertitiklah darahnya setitik ke dalam sayur itu dengan dilihatnya. Maka ia hendak perbuat lain sayur pun tiada sempat kerana raja sudah datang dari mandi hendak santap. Maka dibubuhnyalah ke dalam hidangan dengan gopohnya, lalu diangkatnyalah hidangan itu dihantarkan ke hadapan raja (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 51).

Maka Raja Bersiung pun santaplah nasi itu, menuangkan gulai lecek dengan isi kuahnya sekali. Setelah sudah santap, maka Raja Bersiung pun terlalulah amat lazat citarasanya, terlebih daripada sediakala hingga habislah gulai di dalam belanga itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 51).

Usai bersantap, Raja Bersiung memanggil sang juru masak sembari mengacungkan pedang dan bertanya hal apakah yang menjadikan gulai lecek tersebut lebih lezat dari biasanya. Karena ketakutan, sang juru masak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Sejak saat itulah, Raja Bersiung ini selalu meminta darah manusia untuk dicampurkan ke dalam masakannya.

Demi Raja Bersiung mendengar sembah perempuan itu, maka iapun menyarungkan pedangnya serta bertitah, ”Baiklah,” lalu berangkat keluar ke balairung bertitah, ”Mana penghulu biduanda sekalian? Bukanlah ada orang yang kita suruh bunuh sulakan itu pada hari ini? Ambil cawan itu, isikan darahnya, bawa ke mari kepada aku.”(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 52).

Maka penghulu biduanda pun menyembah, lalu mengambil cawan pergi mendapatkan orang yang hendak dibunuh itu. Maka orang itu pun dikerjakan oranglah, darah itu diisinya ke dalam cawan lalu dibawa mengadap persembahkan kepada baginda Raja Bersiung itu. Maka diambilnya lalu dibawa langsung ke dapur menyuruh gerau itu membuat sayur lecek. Setelah pertengahan masak maka dihampiri oleh Raja Bersiung, sendirinya menuangkan darah itu ke dalam belanga sayur itu. Setelah masak, maka dihidanglah oleh gerau itu, dihantarkan ke hadapan Raja Bersiung. Maka Raja Bersiung pun santaplah. Maka terasa olehnya terlebih pula sedap daripada yang dahulu itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 52).

Maka keesokan harinya disuruh pula bunuh seorang, ambil darahnya serta dengan hatinya diperbuat gulai dan panggang dan darah itu diperbuat kuahnya. Maka apabila dimakannya, terlebih pula lazat citarasanya. Maka tiadalah dapat lagi ditinggalkan oleh Raja Bersiung itu daripada memakan hati darah orang jua. Jikalau tiada ada yang demikian tiadalah dapat ia santap nasi pada hari itu jikalau berapa banyak lauk sekalipun. Maka jadilah seorang raja terbunuh olehnya, sampai kepada habis orang yang tiada berdosa pun dan di luar kota pun sunyilah kerana sudah habis orangnya, tiadalah apa kiranya hanya hendak memakan hati darah manusia sahaja sehingga orang yang di dalam penjara itu pun habislah dibunuhnya. Maka masyhurlah kepada khalayak yang banyak hingga kepada negeri yang lain-lain. Maka terlalulah amat kemasyghulan segala rakyat bala tentera, datang dengan teriak tangis kepada segala menteri hulubalang mengatakan anaknya terbunuh, ada yang setengah mengatakan bapanya terbunuh. Demikian itulah habis mati sekalian orang dibunuhnya dimakan darahnya(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 52-53).

Akibat perangai buruknya dan nasehat keempat menteri tidak diindahkannya, maka terjadilah pergolakan di dalam negeri. Kondisi tersebut terjadi akibat sabotase dari keempat menteri yang sengaja melawan raja dengan mengerahkan seluruh rakyat untuk menentang Raja Bersiung. Hal itu menjadikan Raja Bersiung melarikan diri ke dalam hutan. Pelarian tersebut berakhir tatkala ia tiba di sebuah keluarga yang tidak mengetahui identitasnya dan menerimanya sebagai menantunya, karena ia memperistri salah seorang anaknya. Hasil perkawinan itu membuahkan seorang anak laki-laki.

Anak laki-laki inilah yang kelak menggantikannya menjadi raja karena dengan istri sebelumnya, Raja Bersiung tidak memiliki seorang anak pun. Anak ini diberi nama Raja Phra Ong Mahaputisat. Nama ini diberi oleh Raja Benua Siam, negeri yang masih memiliki ikatan saudara.


BAB 3 

Semasa Raja Phra Ong Mahaputisat memerintah, Negeri Kedah digambarkan menjadi makmur dan aman sentosa. Sifatnya yang adil dan pemurah sangat jauh berbeda dengan sifat ayahnya, Raja Bersiung.

Maka terlalulah ramainya sekalian pada masa Raja Phra Ong Mahaputisat memegang kerajaan di dalam negeri Kedah itu kerana sangat adilnya dan insaf Raja Phra Ong Mahaputisat di atas segala rakyat bala serta pula dengan baik budinya bahasanya. Maka tiadalah teraniaya lagi segala isi negeri itu dan segala makanan daripada aneka jenis pun terlalu makmurnya (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 82).

Raja Phra Ong Mahaputisat memiliki seorang anak bernama Raja Phra Ong Mahawangsa. Dikisahkan pula di bab ini tentang dua anak angkatnya, Raja Buluh Betung yang muncul tiba-tiba dari pohon buluh betung, serta Putri Seluang yang ditemukan oleh istri Raja Bersiung saat datang banjir air bah. Keduanya kemudian dijadikan anak dan menjadi saudara bagi Raja Phra Ong Mahawangsa. Kisah itu dipaparkan dalam teksnya:

Adapun ayahnya Raja Phra Ong Mahaputisat akan buluh betung itu ditaruhnya susur dengan tempat peraduannya, tiadalah berjauh dengan dia kerana sangat kasih akannya, serta pula buluh itu pun makin sehari makin besar. Setelah demikian maka genaplah bilangannya serta dengan waktu yang sejahtera, maka buluh betung itupun pecahlah lalu keluar seorang kanak-kanak laki-laki, terlalu sekali baik rupa parasnya. Maka sekaliannya terkejutlah dengan hairan melihat budak itu. Maka Raja Phra Ong Mahaputisat pun segera mengambil menjadikan anaknya serta dengan inang pengasuhnya. Maka dinamakan budak itu Raja Buluh Betung (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 80).

Munculnya Putri Seluang diceritakan dalam naskahnya:
Bermula, adalah suatu hari datang air bah sangatlah besarnya.Maka Raja perempuan isteri Raja Bersiung pun pergi ke sungai. Maka dilihatnya ada sebuah bukit yang kecil seperti sebuah rumah rupanya, hanyut hilir daripada hulu Sungai Kuala Muda itu, yang teramat putih rupanya menuju kepada raja perempuan. Demi dilihatnya buih juga rupanya yang datang itu, maka diarung oleh raja perempuan buih itu. Hatta, sampai ke tengah-tengah maka bertemulah dengan seorang budak perempuan yang teramat baik rupanya. Maka segera diambil oleh raja perempuan budak itu dibawa kembali ke istana. Setelah itu dinamai oleh raja perempuan budak itu Puteri Seluang. Maka dipeliharakannya seperti anak yang dijadikannya serta diberi inang pengasuhnya (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 81).

Raja Phra Ong Mahaputisat mangkat dan digantikan oleh anak kandungnya, Raja Phra Ong Mahawangsa. Konon, Raja Phra Ong Mawahangsa memiliki kegemaran meminum arak dan arak nasi. Kegemaran tersebut menjadikannya kebal terhadap segala penyakit. Namun, hanya pada waktu-waktu tertentu saja ia meminumnya, sehingga tidak mabuk. Kegemarannya itu dipaparkan dalam teksnya:

Adapun Raja Phra Ong Mawangsa itu sangatlah gemar ia meminum arak api dan arak nasi akan menjadi tubuhnya sihat daripada penyakit. Maka ditaruhnya bertempayan-tempayan banyaknya, tiadalah kurang. Bahawa sesungguhnya ia meminum arak itu hingga bangun-bangun sahaja daripada tidurnya sebelum lagi membasuh muka, pada ketika itu dimintanya suatu piala cawan kaca yang berisi arak. Maka dituangnya ke mulutnya. Setelah sudah ia minum itu baharulah membasuh mukanya dan makan sirih. Demikianlah pada tiap-tiap hari selama-lamanya, tetapi pada waktu ia makan minum tiada sekali-kali diperbuatnya melainkan pada ketika ia sekalian berusuka-sukaan makan minum dengan menteri hulubalangnya baharulah ia meminum arak api dan arak nasi. Tetapi Raja Phra Ong Mahawangsa itu tiada mahu mendatangkan khayal dan mabuk, kalau-kalau menjadi gila atau pening kepalanya hingga sehari sekali jua ia meminum itu, adanya(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 83).



BAB 4

Bab ini mengisahkan tentang awal mula masuknya Islam di Negeri Kedah, yang dibawa oleh Syeh Abdullah Yamani dari Baghdad. Alkisah, Syek Abdullah Yamani ini adalah seorang hafidz Qur‘an (penghafal Qur‘an), sehingga kemana pun ia pergi, mulutnya senantiasa melafalkan ayat-ayat Allah. Suatu ketika, tertarik dengan iblis saat ia membaca sebuah kitab tafsir Qur‘an. Maka, ia pun menghadap gurunya dan memohon untuk bertemu dengan iblis dan menjadi muridnya. Keinginan itu dikabulkan oleh gurunya, setelah sebelumnya memperingatkan bahwa segala amal ibadahnya akan sia-sia dan ia akan berada di atas jalan yang sesat. Karena keingintauan yang besar, Syek Abdullah Yamani tetap bersikeras pada keinginannya. Maka jadilah ia murid iblis itu.

Oleh sang iblis, ia diberi tongkat yang mampu menghilangkan wujudnya di dunia. Ia kemudian ikut berkeliling dunia dengan iblis tersebut, melihat bagaimana sang iblis memporakporandakan dunia dan menjadikan manusia berada di jalan yang sesat. Sepanjang perjalanan mereka, iblis itu tak henti-hentinya mengobarkan kekacauan. Setiap kali iblis lewat, maka muncullah perkelahian, pembunuhan, dan kekacauan lain yang sengaja dibuatnya akibat bisikan-bisikan iblis dan pengikutnya ke dalam hati manusia. Berikut ini beberapa petikan teknya yang menggambarkan perilaku jahat iblis:

Maka tatkala itu tuan kampung itu tengah hendak berkelahi berbabil berebut-rebut seorang sekerat kampung dan dusun itu. Maka penghulu syaitan itu menyuruh anak cucunya berhimpun berkeliling itu daripada kedua belah pihak kaum itu pun dihunjamnya dengan rahsia yang ghaib oleh penghulu iblis itu disuruh berkelahi. Telah jadi sekaliannya berbunuh-bunuh dengan sorak tempik sekaliannya bergemuruh dan berdahanam bunyinya dengan tiada diketahui oleh segala manusia....(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 88-89).

Maka berjalan pula penghulu iblis itu ke tempat yang lain. Maka tinggallah anak cucunya pada tempat itu. Maka sampailah ia kepada tempat orang berjual beli daripada serba dagangan dan makanan dan apabila sampai ia kepada tempat yang cair-cair di situlah yang amat banyak berak kencingnya serta disuruh anak cucu mereka itu(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 89).

Maka berjalan pula penghulu iblis itu serta dengan tuan Syekh itu, sampailah pada seorang perempuan yang baik rupa parasnya. (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 89).

...Maka dihampiri dekat perempuan itu lalu diisyaratkan oleh penghulu iblis dengan diselakkan kain di dadanya lalu ditolakkannya seorang laki-laki yang muda berkata-kata dan bergurau senda dengan perempuan itu. Seketika datanglah lakinya perempuan itu. Maka marahlah ia langsung menjadi berkelahi dengan orang itu. Maka disuruh kepada anak cucunya mengacau orang itu suruh bertikam. Maka jadi berbunuh-bunuhlah orang itu(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 89).

Demikianlah iblis mengganggu manusia, menyuruh berbuat dosa. Hingga suatu ketika, sampailah iblis itu di Negeri Kedah, tempat Raja Phra Ong Mahawangsa bernaung. Tahu akan kegemaran sang raja yang suka minum arak, maka diisilah cawan raja itu dengan air kencingnya. Seketika itu, Syekh Abdullah Yamani menegur perilaku iblis itu. Teguran itu mengakhiri petualangannya berguru dengan iblis, karena sebelumnya iblis telah memintanya untuk tidak menegur segala perbuatannya terhadap manusia. Maka, putuslah hubungan keduanya, dan diambilnya tongkat ajaib yang mampu menghilangkan wujud Syekh itu, sehingga terlihatlah sosok Syekh Abdullah Yamani di kamar raja.

Setelah itu maka penghulu syaitan pun berjalanlah ke negeri yang lain pula menuju segala kota negeri raja-raja yang di susur tepi laut itu. Maka sampailah kepada sebuah negeri rajanya kafir, makan arak. Serta sampai penghulu syaitan dengan Syekh Abdullah, maka naiklah ke istana Raja Phra Ong Mahawangsa itu, menuju masuk keduanya ke tempat peraduan. Masa itu raja tengah tidur. Serta datang berdiri keduanya di susur kelambu raja itu. Maka raja itu pun bangunlah daripada beradunya meminta piala araknya. Maka budak-budak raja pun mengambil guri araknya, ditahan piala di bawahnya. Baharu ia hendak tuang sahaja, datanglah penghulu iblis serta diselak kainnya lalu dikencing ke dalam piala itu, sedikit arak banyak air kencing. Maka budak itu pun persembahkan kepada raja. Maka raja pun minumlah arak suatu piala itu. Setelah sudah terminum, maka Syekh Abdullah pun berkatalah kepada penghulu syaitan, katanya, ”astagfirullahhal adzim, betapa juga tuan hamba beri minum air kencing tuan hamba kepada raja itu?” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 107).

Maka kata penghulu syaitan, ”Bukankah hamba kata dan pesan jangan tuan hamba tegur barang perbuatan hamba di atasnya segala manusia?” Maka kata Syekh Abdullah kepada penghulu syaitan itu, ”Pada tempat yang lain tiadalah hamba tegur. Ini ia seorang raja besar, memegang suatu negeri. Maka sampai hemat tuan hamba memberi ia minum air kencing.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 107-108).

Maka Raja Phra Ong Mahawangsa pun amat menjadi hairan bunyi orang berbabil di tepi kelambunya. Maka tiada kelihatan suara sahaja yang didengar, menjadi tiadalah terbasuh mukanya duduk melengung mendengar akan hal perbabilan keduanya. Maka penghulu syaitan pun datanglah marahnya akan Syekh Abdullah, katanya, ”Jika sudah banyak pandai tuan hamba, bercerailah kita, ”sambil dirabutnya tongkat yang di tangan Syekh Abdullah itu dan ditumbuknya sekali lalu turunlah dari istana raja itu, hilang ghaib (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 108).

Maka Syekh Abdullah pun kelihatanlah kepada mata orang, terdiri di hadapan raja. Maka raja pun terkejut langsung bangun berdiri memegang tangan Syekh Abdullah, katanya, ”Dengan siapa tuan berkata-kata sekejap ini dan dari mana juga tuan datang ke peraduan hamba ini, lengkap dengan segala pakaian, alamat orang jauh dan siapa juga membawa tuan kemari ini, kerana budak-budak perempuan lagi tidur?” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 108).

...Maka kata Syekh Abdullah, ”Yalah, tuanku. Adapun hamba ini anak negeri Yamani, datang daripada negeri guru hamba, negeri Baghdad, dibawa oleh iblis kerana hamba hendak berguru dan melihat segala perbuatan syaitan dan diberi suatu tongkat kepada hamba, menjadi hilanglah daripada mata orang banyak, dan beberapa perbuatan di atas segala manusia, perbuatannya semata-mata kejahatan jua, hingga sampai ke istana tuanku ini.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 108).

Keduanya kemudian bercakap-cakap, dan Syekh Abdullah mulai mengenalkan agama Islam dan mengislamkan Raja Phra Ong Mahawangsa saat itu juga. Sejak saat itu, Syekh Abdullah Yamani menjadi muballigh di Negeri Kedah, yang mengislamkan Raja Phra Ong Mahawangsa dan segenap rakyatnya. Raja kemudian berganti nama menjadi Sultan Muzalfal Syah.

Syekh Abdullah juga mengajak raja dan rakyatnya melakukan sholat lima waktu, sholat jumat, serta membayar zakat. Raja juga memerintahkan rakyatnya untuk membangun masjid-masjid dan menyuruh mereka berguru kepada Syekh Abdullah, hingga hampir semua rakyatnya menganut Islam dan menjalankan syariat agama Islam sepenuhnya.

Saat itu, Sultan Muzalfah Syah memiliki tida orang putera, yang diberi nama Islam, yaitu Raja Muazzam Syah, Raja Mahmud Syah, serta Raja Sulaiman Syah. Ketiganya juga berguru kepada Syekh Abdullah Yamani dalam memahami Islam. Setelah lama di Negeri Kedah, Syekh Abdullah kembali ke Baghdad.


BAB 5 

Bab ini secara ringkas menceritakan silsilah raja-raja Kedah setelah Sultan Muzalfal Syah. Kisah ini diawali dengan pulangnya Syekh Abdullah Yamani ke negeri Baghdad untuk bertemu gurunya dan menceritakan petualangannya hingga mengislamkan raja beserta rakyatnya di negeri Kedah. Berikut ini petikan cerita Syekh Abdullah Yamani kepada gurunya:

...Setelah sampai maka naiklah Syekh Abdullah mendapatkan gurunya. Maka Syekh Abdullah tua pun terkejut, katanya, ”Di mana jua begini lama tuan mendiamkan diri? Lama benar tiada hamba bertemu dengan tuan hamba.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 122).

Maka kata tuan Syekh Abdullah, ”Bukankah hamba tuan datang mengadap kadam tuan, pinta tolong tuan pohonkan kepada Allah Taala pinta pertemukan hamba dengan syaitan iblis kerana hamba tuan hendak ketahui dan belajar segala perbuatannya? Maka lalu sabda tuan suruh hamba pergi ke tengah padang besar di bawah sepohon kayu, duduk. Maka hamba tuan pun pergilah duduk di bawah pohon kayu itu. Maka dengan tolong Allah Subhanahu wa Taala berkat doa tuan dikabulkan Allah Taala peminta hambanya dan disampaikan jua seperti hajat hamba tuan. Maka datanglah penghulu syaitan itu memberi salam akan hamba tuan; maka hamba tuan pun menyahut salamnya. Maka ditanya kepada hamba apakah hajat hamba hendak berjumpa dengan dia; lalu hamba tuan katakan seperti maksud hamba kepadanya. Setelah itu maka diajak hamba tuan pergi bersama-sama dengan dia serta diberinya satu tongkatnya akan hamba, suruh pegang, jangan lepas. Maka hamba tuan pegang lalu mengikutlah perjalanannya.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 122).

Maka Tuan Syekh Abdullah tua pun baharulah teringat akan hal itu lalu bertanya kepada muridnya itu peri ia pergi mengikut syaitan iblis itu. Maka segala perbuatan syaitan iblis itu sekaliannya dikhabarkan kepada gurunya daripada awal dibawa oleh iblis pergi pada dusun orang itu dan daripada satu negeri ke satu negeri sampai pergi ke negeri Kedah, lalu dibawa masuk ke dalam istana Raja Phra Ong Mahawangsa, raja di negeri Kedah itu dan peri ditinggalkan oleh penghulu syaitan akan dia dan dirampas ambil tongkatnya oleh penghulu syaitan daripada tangannya dan peri ia membawa Islamkan Raja Phra Ong Mahawangsa itu serta dengan menteri hulubalang rakyat bala sekalian dengan istrirahatnya tiada dengan kesukaran sekalian itu masuk agama Islam mengikut syariat Nabi Muhammad Rasulu‘Llahisalla‘Llahu ‘alayhi wa sallam, sekaliannya diceterakan oleh Tuan Syekh Abdullah sampai kesudahannya, suatu pun tiada di lindungkan kepada gurunya (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 122-123).

Maka Tuan Syekh Abdullah tua pun terlalu hairan dan ajaib kebesaran Allah Subhanahu wa Taala mendengar ceritera muridnya itu. Maka Syekh Abdullah tua mengucap seribu syukur akan Allah Taala, kemudian meminta doa akan Sultan Muzalfal Syah dan Sultan Muazzam Syah dengan segala isi negeri Kedah itu, dipinta kepada Allah Subhanahu wa Taala bertambah-tambah iman dan taat. Setelah sudah maka Tuan Syekh Abdullah Yamani pun bermohonlah kepada gurunya kembali ke rumahnya. Maka duduklah ia dengan gurunya sediakala. (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 123).

Kisah dalam hikayat ini diakhiri dengan menguraikan silsilah raja-raja Kedah keturunan Sultan Muzalfah Syah, secara berturut-turut, Sultan Muazzam Syah, Sultan Muhammad Syah, Sultan Muzaffar Syah, Sultan Mahmud Syah, Sultan Sulaiman Syah, Sultan Rijaluddin Mhammad Syah (alias Marhum Naka), Sultan Muhyidin Mansyur Syah (Marhum Sena), Sultan Ziauddin Mukarram Syah (Marhum Ilir atau Kebalai), Sultan Ataullah Muhammad Syah (Marhum Bukit Pinang), Sultan Muhammad Jiwa Zainul Adilin Muazzam Syah (Marhum Kayangan), Sultan Abdullah al-Mukarram Syah (Marhum Muda Bukit Pinang), Sultan Muhammad Jiwa Zainul Adilin Muazzam Syah (Marhum Muda Kayangan), serta Sultan Ahmad Tajuddin Halim Syah.





Sumber:

http://melayuonline.com/ind/history/dig/435

http://themalaypress.blogspot.com/2009/07/manuskrip-hikayat-merong-mahawangsa.html

No comments:

Post a Comment